Padd Solutions

Converted by Falcon Hive

Nama Baturraden menggunakan huruf ‘r’ ganda, terdiri dari kata ‘batur’ dan ‘raden’. Hal ini sering menjadi kesalahan karena kita sering menyebutnya dengan kata ‘batu’ dan ‘raden’. Penyebutan ‘batu’ akan membawa konotasi bahwa di sana banyak ‘batu’, atau paling tidak, ada ‘batu’ yang dijadikan subyek.
Saya pernah ke Baturraden sebelumnya, tapi sudah lama sekali. Waktu itu saya diajak oleh teman kuliah yang asli orang Banyumas. Kami mengunjungi Baturraden kembali dalam rangka menemui teman saya tadi di Purwokerto, jadi sekalian ke Baturraden.
PERJALANAN
Perjalanan dari Cilacap (rute perjalanan kami sebelumnya adalah Cipanas Garut, Pangandaran, Cilacap) ke Purwokerto cukup mudah karena petunjuk arah cukup banyak dan jelas. Ketika ada petunjuk arah yang berbeda antara Banyumas dan Purwokerto, saya mengikuti arah ke Purwokerto, karena setahu saya, Baturraden ada di dekat Purwokerto.
Tidak lama kami sudah memasuki kota Purwokerto, lalu berhenti sebentar dekat alun-alun. Istri saya masuk Rumah Baju Lamara, dan saya mencari sekadar jajanan khas Purwokerto/Sokaraja. Jajanan yang saya sukai adalah getuk goreng. Ah, kebetulan sekali, getuk goreng di toko oleh-oleh dekat masjid itu baru diantar, jadi masih fresh. Saya pun langsung mencobanya sedikit.
Untuk menuju ke Baturraden memang bisa (atau sebaiknya) melalui alun-alun (di sebelahnya masjid agung / gedung DPRD), menuju ke utara terus hingga ada semacam tugu di pertigaan, lalu belok kanan sesuai petunjuk arah. Dari situ mengikuti jalan terus hingga lokasi Baturraden. Sekarang, di lokasi (ada gerbang dan di tengah jalan ada pemisah dari stainless steel), ada petunjuk arah yang cukup membingungkan. Kalau lurus, ke arah Baturraden, sedangkan kalau belok kanan, ada tulisan “pancuran tujuh”, “bumi perkemamahan” dan lain-lain. Saya sempat belok kanan karena setahu saya obyek wisata di Baturraden adalah “pancuran tujuh” tersebut. Ternyata, jalannya sangat kecil, dan tidak jelas. Akhirnya saya kembali dan mengambil jalan lurus. Jalan lurus ke Baturraden ini juga membingungkan karena cukup panjang. Timbul pikiran, jangan-jangan Baturraden ini adalah desa atau kecamatannya, bukan obyek wisatanya. Tetapi ternyata benar, jalan lurus itu di ujungnya ada terminal dan berikutnya ada tempat parkir untuk pengunjung wisata.
Tempat parkir obyek wisata Baturraden
KOLAM PEMANDIAN
Obyek wisata Baturraden adalah kolam pemandian air panas (hot spring water), di samping wisata pemandangan alam dan udara sejuk. Untuk menuju kolam pemandian, atau disebut juga pancuran pitu, bisa dengan jalan kaki atau naik kendaraan. Perlu diperhatikan bahwa jalan menuju obyek tersebut harus melalui jalan menurun dan mendaki, jadi pastikan kendaraan anda cukup kuat (umumnya dengan gigi 1 bisa). Informasi ini saya dapat dari penjual jagung bakar di tempat parkir. Saya sendiri urung ke obyek tersebut karena hari sudah sangat sore (hampir maghrib), gerimis, dan sepi. Para pedagang pun sudah banyak yang menutup kiosnya.
PENGINAPAN
Untuk penginapan, tampaknya sangat mudah. Di kanan-kiri jalan menuju Baturraden sangat banyak penginapan, baik berupa hotel maupun penginapan ‘biasa’ (mungkin kelas melati). Semakin dekat ke lokasi semakin banyak, jadi anda tidak perlu buru-buru mengambil penginapan. Kalau perlu, anda sampai dulu di lokasi, lalu balik turun dan memilih penginapan yang paling cocok yang dilihat ketika naik tadi.
OLEH-OLEHJika anda ingin belanja oleh-oleh, sebaiknya di Purwokerto saja. Selain lebih terjamin, juga pilihannya sangat banyak. Lokasi belanja oleh-oleh adalah di sekitar alun-alun, atau di jalan protokol di sekitarnya (sayang saya tidak ingat nama jalannya). Anda bisa parkir, cukup mudah karena bisa parkir di pinggir jalan, lalu jalan-jalan. Toko oleh-oleh banyak di sekitar itu. Oleh-oleh yang khas antara lain: tempe mendoan, kripik tempe, bakpia, getuk goreng, yangko, dan lain-lain. Tidak semua asli Purwokerto, namun cukup khas Jawa (tengah).
Perjalanan ke Cilacap adalah rangkaian perjalanan kami di akhir tahun 2008. Sebelum ke Cilacap, kami telah singgah di Cipanas (Garut) dan Pangandaran (Ciamis). Rencananya, dari Cilacap kami akan melanjutkan perjalanan ke Baturraden (Purwokerto) lalu kembali ke Jakarta/Bogor lewat Pantura.
Kami tiba di Cilacap sekitar tengah hari, dari Pangandaran melalui Sidareja. Karena ingin menginap dekat pantai, kami lalu menuju ke arah yang ‘berbau’ pantai, seperti pelabuhan dan pantai Teluk Penyu. Ternyata ‘penjemput’ kami, kemudian, membawa kami kembali ke tengah kota, di jalan Rinjani, tepatnya di rumah makan Sidoroso. Kami beristirahat dan makan siang di rumah makan yang bertema lesehan di tengah sawah tersebut, mencoba masakan khas seperti sate goreng dan sop kikil kambing.
Cilacap Indah
Agak sore kami diantar ke sebuah hotel bernama Cilacap Indah. Dari luar, hotel ini tampak ‘berkelas’. Lobby dan Reception-nya tampak khas sebuah hotel. Namun ketika memilih kamar, list yang disodorkan ke kami tampak tradisional. Kami tidak langsung sadar, dan memilih kamar dengan double bed agar bisa menampung kami sekeluarga. Ketika ditunjukkan kamarnya cukup besar dan tempat tidur besar pula. Kami OK, dengan harga ‘cuman’ Rp 200.000,- Satu keanehan lagi mulai terasa ketika anak kami menanyakan remote TV, yang dijawab tidak ada. Ah! Tapi sudahlah. Mungkin hilang atau rusak, seperti yang dikeluhkan pemilik penginapan di Pangandaran yang kehilangan remote AC.
Di Hotel Cilacap Indah
Saya kemudian pergi dengan teman untuk urusan pekerjaan. Tidak lama istri saya telepon: AC di kamar bocor! Wah! Saya suruh complain atau minta ganti kamar. Ternyata mereka sudah complain dan petugas hotel sudah berusaha memperbaiki AC yang ‘ngocor’ (air netes dari AC membasahi karpet). Kamar lain tidak ada yang double bed!
Ketika saya kembali, saya merasakan udara yang sangat pengap dalam kamar. Saya lalu minta ganti kamar, namun kamar yang ‘di luar’ yang saya kira pasti berudara segar, ternyata lembab juga. Akhirnya saya ditunjukkan kamar single bed namun AC nya OK. Ternyata udaranya lebih segar. Saya tentu langsung memilih kamar tersebut. Ekstra bed tambah Rp 40.000,- lagi, padahal harga kamar single bed tidak dikurangi! Gak apa-apa lah…
Ternyata, dari obrolan dengan petugas hotel, sudah banyak yang complain tentang karpet kamar yang diduga sebagai penyebab lembabnya udara di kamar. Kemungkinan karpet akan dilepas semua, tinggal menunggu keputusan manajemen…
Cilacap di Malam Hari
Ketika kami di Cilacap, akhir tahun 2008, Cilacap sedang sering diguyur hujan. Malam hari pun demikian. Namun karena kami ingin melihat-lihat Cilacap di malam hari, kami pun keluar juga. Hujan tidak deras alias gerimis kecil saja.
Ternyata kota Cilacap tidak besar. Sebentar saja kami mengetahui dan bisa keliling separuh kota. Pertama kami menuju ke arah Pantai Teluk Penyu. Ternyata sepi. Kami lalu kembali menuju pusat kota, ke arah alun-alun. Walaupun gerimis, di jalan dekat alun-alun tampak kendaraan yang parkir cukup ramai, namun tidak terlalu ramai untuk sebuah kota. Di dekat alun-alun ini ada sebuah warung bakso yang tampak cukup besar dan ramai. Sayang, kami sudah mampir di warung bakso dan mie ayam yang lain sebelumnya.
Pantai Teluk Penyu
Pagi-pagi, kami menuju Pantai Teluk Penyu kembali. Tampaknya, hanya di situlah tempat wisata di Cilacap. Karcis masuk Rp 2.500,- Kami menyusuri jalan di pantai Teluk Penyu. Sepi. Tidak tampak pengunjung wisata yang lain. Mungkin karena masih pagi. Toko-toko souvenir juga kurang menarik kami karena barang yang dijual ‘biasa’ saja, untaian kerang, hiasan-hiasan dari kerang, dan semacamnya, yang bisa kami beli juga di Taman Mini atau di tempat lain.
Pantai Teluk Penyu, Cilacap
Agar tidak penasaran, kami berhenti juga dan tanya-tanya di sebuah warung ikan asin. Saya ingin beli telur penyu, tapi ternyata tidak ada yang menjual. Wah! Namanya pantai Teluk Penyu. Jangankan penyunya, telurnya pun tidak ada!
Kami lalu melanjutkan perjalanan ke Benteng Pendem. Di sini juga sepi, dan kami tidak ingin masuk. Akhirnya kami kembali, dan mampir di sebuah warung ‘ikan’ yang banyak terdapat di situ. Kami memesan beberapa jenis ikan, dan mendapat kenyataan bahwa masakan ikan di situ masih lebih baik dari di Pangandaran. Lumayanlah.
Wisata ke Pulau Nusakambangan
Wisata yang menarik di Cilacap mungkin wisata ke pulau Nusakambangan. Di lokasi Benteng Pendem, kami ditawari tukang perahu untuk berperahu ke Nusakambangan. Sayang, saya tidak punya waktu karena masih harus menemui client di Cilacap.Cilacap mungkin bukan daerah tujuan wisata, sehingga potensi ini kurang dikembangkan. Pemda ‘mungkin’ (ini dugaan saya) merasa sudah cukup ditopang oleh Semen Nusantara dan Pertamina, sehingga bisa bangga dengan pendapatan per kapita atau UMR yang lebih tinggi dari daerah lainnya di Jawa Tengah.
Pangandaran adalah sebuah pantai yang cukup terkenal sebagai obyek wisata di pesisir pantai selatan. Saya sudah lama sekali mendengarnya, dan sangat ingin mengunjunginya.
Setelah mempelajari rute dan lokasinya, ternyata Pangandaran termasuk pada kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Untuk menuju ke Pangandaran, ternyata (dan ini saya ketahui setelah sampai di sana) telah banyak bis yang langsung dari Jakarta, antara lain dari Balaraja (Tangerang) dan dari Bekasi (yang saya lihat di jalan). Jika menggunakan kendaraan sendiri, rute (seperti yang saya tempuh) adalah: Jakarta-Bandung-Cileunyi via tol Purbalenyi (Tol Cikampek + Cipularang + Cileunyi), lalu menuju Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, terus menuju Pangandaran. Di peta ada jalan dari Ciamis langsung ke Pangandaran, namun ketika di jalan (waktu itu sudah mulai malam), kami tidak menjumpai belokannya, dan petunjuk arah membawa kami melalui Banjar.
Banjar Paling Bagus
Hanya untuk informasi, sepanjang perjalanan kami (singgah di Garut/bermalam di Cipanas), kami mengagumi kebersihan dan keindahan kota yang kami lalui. Ternyata kami sepakat menempatkan Garut yang paling ‘kurang bagus’, lalu Tasikmalaya lebih bagus, Ciamis lebih bagus lagi, dan Banjar yang paling bagus. Ukurannya tentu subyektif dan hanya dengan melihat keadaan di sepanjang jalan yang kami lewati.
Jalan Berbelok-Belok
Perjalanan dari Banjar ke Pangandaran ‘ternyata’ melalui hutan yang berbelok-belok (maksudnya jalannya yang berbelok-belok). Kondisi yang sudah malam dan sudah menempuh perjalanan cukup jauh membuat kami sempat nervous. “Kapan sampainya?”. Ternyata, dan ini ternyata diakui oleh banyak orang termasuk mereka yang ‘hidup’ di Pangandaran sendiri, kondisi jalan itu memang termasuk berat. Mantan Ibu RW yang asli Pangandaran (ternyata tidak persis di Pangandarannya) sempat SMS (namun terlambat) memperingatkan kondisi jalan itu dan berpesan agar hati-hati. Di Pangandaran, kemudian setelah di sana, kami bertanya-tanya adakah jalan lain agar tidak usah melewati jalan berbelok-belok itu, ternyata itu satu-satunya jalan untuk kembali juga!
Ketika kami balik, masih pagi hari, dan tentu kami masih segar setelah menginap dua hari, jalan di hutan yang berbelok-belok itu kami jadikan semacam tamasya sendiri. View alam yang asri, udara yang segar kami nikmati, membuat jalan itu menjadi tidak begitu berat. Kami santai melewatinya, dan terasa hanya sebentar saja kami sudah melewatinya J.
Retribusi
Memasuki lokasi Pangandaran otomatis kita akan melewati sebuah pintu gerbang yang dijaga oleh petugas. Di sini kita harus membayar ‘retribusi’ sebesar Rp 27.500,- Saya kurang jelas tentang retribusi ini karena tidak diberi bukti berupa karcis atau apa. Karena tidak tahu, saya tidak memintanya. Ternyata, setelah diberi penjelasan oleh ‘pengantar’ mencari penginapan, kita harus memintanya. Ah!


Penginapan
Mencari penginapan di Pangandaran sangatlah mudah. Banyak hotel dengan plang besar dan lampu-lampu yang meriah. Banyak pula rumah yang disewakan, bahkan di ‘blok’ dekat pantai, hampir semua rumah menjadi penginapan!
Di pintu gerbang, kami ditawari penginapan oleh seorang ‘agen’ atau ‘pengantar’. Kakak meminta dicarikan penginapan yang 100 ribuan dan disanggupi. Kami diantar ke ‘rumah’ penginapan dengan tiga kamar, semua kamar menghadap ke depan (bukan kamar di dalam rumah, tetapi seperti rumah kontrakan/bedeng). Setelah dilihat ternyata cukup baik, malah masih baru (informasi yang didapat kemudian ternyata baru tiga bulan dibangun, setelah dulu dilanda tsunami). Semua kamar memiliki kamar mandi sendiri di dalam. Bed (tempat tidur) double, masih baru dan tampak bagus, ada TV, dan masing-masing punya teras yang dilengkapi meja kursi kayu (yang masih baru dan bagus pula). Sangat cukup bagi kami. Namun ternyata harganya 250 yang besar(hanya satu) dan 150 yang lebih kecil. Setelah ditawar, yang besar jadi 150 ribu dan yang kecil 100 ribu. Kami langsung sepakat karena lokasinya memang dekat pantai (bisa jalan kaki), dan sudah malam.
Penginapan Rp 150.000,-
Ternyata di sekitar itu penginapan semua. Ada yang besar dan terkelola, ada juga yang berupa rumah atau wisma. Harga juga relatif sama (tentu yang berupa hotel atau yang terkelola lebih mahal), dan jika ingin yang lebih murah pun tampaknya masih bisa mencari yang agak masuk gang atau yang agak jelek.
(Jika kebetulan Anda ingin menginap di tempat kami menginap, bisa kontak pak Poniran, HP: 081323070170, atau jika ingin dicarikan penginapan bisa kontak pak Musa, HP: )


Penjaja
Setelah kami memasukkan barang-barang ke kamar, mulai muncul para penjaja. Pertama adalah abang bakso, yang dengan senang kami membeli (sekaligus buat tanya-tanya situasi). Lalu muncul penjaja pijat. Bukan hanya seorang, namun datang lagi dan datang lagi. Besok pagi-pagi (saya biasa keluar untuk jalan-jalan atau menghirup udara segar setelah sholat subuh) mulai datang penjaja sarapan (berupa nasi kuning dan roti), lalu penjaja ikan asin dan oleh-oleh lainnya (ada yang berupa souvenir). Hmm… hampir sama dengan di Cipanas, Garut.
Selama dua hari kami menginap, gelombang penjaja ini, terutama penjaja ikan asin dan souvenir, datang terus, sehingga bosan menolaknya. Sebagian terpaksa beli, selain untuk oleh-oleh, juga karena kasihan, dan terdesak oleh tawaran si penjaja. Wah…
Pantai Barat dan Pantai Timur
Pantai Pangandaran dibagi menjadi Pantai Barat dan Pantai Timur. Pantai Barat adalah pantai yang landai, berpasir, dan ada bagian dimana pengunjung boleh berenang. Pantai Timur adalah pantai yang ditanggul dengan beton dan batu-batu, tidak boleh berenang, dan di sebelah ini ada TPI (Tempat pelelangan Ikan) dan warung-warung tempat makan ikan.
Makan ikan di Pantai Timur
Pantai Barat dan Pantai Timur berseberangan, di antaranya adalah rumah penduduk, termasuk (terutama) penginapan-penginapan. Jaraknya tidak jauh, namun cukup capek juga kalau berjalan kaki, apalagi bolak-balik. Saya lebih menyarankan Anda mencari penginapan dekat Pantai Barat, seperti yang kami lakukan, karena kegiatan tamasya (aktivitas) umumnya di Pantai Barat.
Di sepanjang Pantai Barat banyak sekali penginapan. Di ujung dekat Cagar Alam, ada pantai yang ramai karena merupakan lokasi berenang. Di sini banyak sekali perahu yang dijajakan, dan banyak warung makanan.
Mencari Makan
Walaupun di sepanjang pantai Barat banyak warung, begitu juga di pantai Timur banyak rumah makan khusus ikan, dan di jalan-jalan antara keduanya banyak rumah makan, namun kami pernah kesulitan mencari makanan. Bukan tidak ada warung atau restoran tutup, namun ‘rasa’ masakan di Pangandaran ini –menurut kami- kurang enak. Kami pernah mencoba masakan Padang (yang direkomendasikan), ternyata tidak seperti yang diharapkan (atau biasanya). Kami mencoba masakan Chinese, juga sama (hambar). Masakan sop ayam pun sama. Untuk masakan ikan (di Pantai Timur), rasanya kalah jika dibandingkan di Muara Angke (Jakarta Utara). Akhirnya kami mencoba mencari warung yang bisa masak ikan asin (toh di situ banyak yang jual ikan asin), eh… ternyata tidak ada!
Bersepeda
Di pangandaran banyak yang menyewakan sepeda. Mau sepeda yang sendiri atau yang berdua (dikayuh berdua bahkan bertiga) ada. Sepeda yang kecil buat anak-anak atau yang besar buat orang dewasa, ada. Tarifnya Rp 5.000 per jam. Kalau ambil banyak, bisa nego juga.
Selain sepeda, ada juga yang menyewakan motor empat roda (ATV). Tarifnya Rp 60.000 per jam, bisa juga Rp 100.000, tergantung motornya atau peminatnya. Kalau ramai, si abang bilang bisa Rp 100.000.
Dengan sepeda atau ATV kita bisa keliling Pangandaran. Kalau mau pakai kendaraan sendiri pun bisa. Pangandaran (yang di dalam lokasi wisata) cukup kecil sehingga kita bisa memutari seluruh blok dalam waktu yang singkat.
Naik Perahu ke Pasir Putih
Jika anda mendekat ke pantai Barat, anda pasti akan ditawari berperahu ke Pasir Putih, melihat ikan dan terumbu karang, dan sebagainya. Seorang Rp 10.000,- namun kalau bisa nego, satu perahu bisa diborong dengan Rp 50.000 saja.
Paket wisata ini untuk bolak-balik. Anda akan diantar melihat ikan (penjaja biasanya menunjukkan foto-foto ikan), lalu bermain di Pasir Putih atau menyusuri pulau untuk masuk ke beberapa gua, dan nanti dijemput lagi. Bayarnya boleh nanti setelah dijemput.
Berperahu di Pantai Barat
Kenyataannya (bocoran nih J), foto-foto yang ditunjukkan oleh tukang perahu terlalu indah dari aslinya. Tentang pasir putih, sama saja dengan pasir di pantai Barat dimana anda naik perahu. Tentang melihat ikan, anda akan melihat ikan dari atas perahu. Airnya memang jernih/bening sehingga anda bisa melihat karang (terumbu karang?) dan ikan (kalau ada, dan itu pun ikan-ikan kecil tidak sebesar di foto) dari atas perahu. Tentang gua, anda perlu berjalan menjelajahi hutan cagar alam untuk menemukannya. Dan di sana, di gua, ada ‘penjaja’ lagi yang menawarkan petromax sebagai penerang di dalam gua. Gua yang paling dekat (setelah berjalan jauh) adalah gua Lanang atau gua Mak Lampir (dinamai begitu karena pernah dipakai syuting film Mak Lampir). Gua yang lainnya masih jauh lagi… Oya, kalau anda mencoba masuk hutan sendiri tanpa pemandu, dijamin anda akan segera balik lagi atau anda akan tersesat dan mutar-mutar sampai capek… bersikaplah bijaksana.
Di mulut Gua Lanang
Untungnya kami ketika naik perahu ditemani oleh pak Sadin. Pak Sadin adalah seorang tukang foto, namun fotonya tidak laku karena kami masing-masing sudah membawa kamera, walaupun sebagian hanya kamera handphone. Pak Sadin mengenal benar ‘pulau’ yang menjadi cagar alam itu, dan bisa bercerita banyak (menjelaskan) kepada anak-anak. Akhirnya beliau kami upah sendiri karena sudah mengantar kami ‘keliling’ pulau, dan keluar melalui pintu masuk cagar alam (lokasi wisata sendiri dengan karcis Rp 5.500,- per orang) tanpa perlu dijemput tukang perahu lagi.(Jika anda ingin dipandu pak Sadin, baik di lokasi Cagar Alam maupun di obyek Wisata lain di sekitar Pangandaran, seperti Green Canyon, Watu Karas dan lain-lain, atau mencari penginapan, bisa mengontaknya melalui HP anaknya: 087826197885).
Informasi pariwisata di Kabupaten Garut sudah lama saya dengar, terutama daerah Cipanas. Setelah melihat-lihat di pameran wisata di Balai Kartini Jakarta dan mendapatkan brosur wisata, saya pun bertekat untuk suatu waktu jalan-jalan ke Garut, lalu ke Ciamis, atau tepanya ke Pangandaran. Akhir tahun 2008, saya mendapatkan kesempatan itu. Perencanaan lalu dibuat karena pilihan obyek wisata Garut ternyata sangat banyak. Informasi di brosur, searching di Internet, dan bertanya-tanya di milis maupun secara langsung menjadi bahan pertimbangan. Atas saran yang diterima dan memperhatikan informasi cuaca di Garut di akhir tahun itu, yang khabarnya ‘kurang bersahabat’ alias hujan, maka kami memutuskan untuk menginap di Cipanas. Menurut informasi, mencari penginapan ‘murah meriah’ di daerah seperti Cisurupan (rencana semula, agar dekat dengan lokasi Curug Orok yang ingin kami kunjungi juga) agak sulit, apalagi jika sudah sore atau malam.

PERJALANAN

Kami (rombongan dua keluarga, dua mobil, 10 orang) berangkat dari kawasan Cibubur (Jakarta/Bogor) sekitar pukul 6:30 (Sabtu, 20/12/2008). Dari Tol Jagorawi langsung masuk JORR di pintu Kp. Rambutan. Mampir sarapan di rest area 57 –seperti kebiasaan kami jika ke Bandung- lalu masuk tol Purbaleunyi (Cipularang), mampir Pasteur sebentar menjemput seorang anggota, lalu melanjutkan ke arah Cileunyi.

Di Rest Area KM 57, Tol Jakarta-Cikampek

Keluar dari pintu tol Cileunyi, melanjutkan ke arah Garut/Tasikmalaya. Menurut peta, kami harus mengambil arah Cicalengka, bukan ke Tasik. Ternyata ini agak membingungkan, karena rambu/petunjuk arah umumnya hanya menunjuk arah ke Tasik, hanya beberapa yang mencantumkan Garut, dan petunjuk ini tidak berlanjut. Ketika ada petunjuk belok ke arah Cicalengka, kami mengambilnya (belok kanan) dan melalui pasar yang lumayan macet oleh angkot. Karena merasa ragu, kami lalu bertanya dan ternyata kami salah. Seharusnya kami tetap menuju ke arah Tasik, karena Cicalengka yang ada di peta memang di tempat itu lah, namun tidak perlu khusus ke arah Cicalengka yang ditunjukkan oleh rambu.

Terpaksa deh putar balik melalui pasar macet itu lagi dan menuju Tasik. Setelah melalui daerah Nagrek, barulah ada belokan ke kanan yang menuju Garut. Ini pun cukup membingungkan karena pada rambu/petunjuk jalan, panah ke kanan untuk menuju ke Garut terlihat dikoreksi (dibuat ulang, panah ke kanan ditimpa dengan panah lurus yang artinya sejalan dengan yang ke arah Tasik). Untunglah pada pertigaan yang sebenarnya, ada tanda panah yang tegas ke arah kanan menuju Garut. Rambu ini sebenarnya membuat kagok karena pertigaan itu pas pada jalan yang menurun (mendaki dari arah Tasik) sehingga harus memotong jalan kendaraan dari Tasik yang sedang menanjak.

Kondisi jalan sendiri cukup baik, aspal lumayan mulus, dan di Cipanas sendiri sedang di-hot-mix, sebagian sudah selesai. Situasi jalan tidak sulit, cenderung lurus dan tidak ramai.

Jalan menuju Garut

Kami sampai di Cipanas sebelum Dhuhur, sebelum jam 12 siang. Artinya, total perjalanan dari Cibubur ke Cipanas, termasuk mampir sarapan di rest area dan menunggu di samping lampu merah Pasteur, tidak sampai 6 jam. Pantas saja ada yang bilang naik sepeda motor dari Cileungsi, Bogor, ke Garut lewat Jonggol-Cianjur bisa ditempuh dalam waktu 6 jam.

Mungkin anda bertanya, letak Cipanas itu di sebelah mana kota Garut? Pertanyaan ini sempat mampir dalam pikiran saya sebelum berangkat, karena dalam peta yang saya peroleh tidak jelas. Ternyata, Cipanas itu termasuk Kabupaten Garut, kalau dari arah Cileunyi-Cicalengka-Nagrek, akan belok kanan (ada beberapa rambu sehingga saya agak bingung juga kapan harus belok kanan, namun pas belokannya cukup jelas). Jadi, Cipanas itu belok kanan sebelum mencapai Kota Garut.

Berpose di jalan menuju Cipanas, latar belakang kabut yang menutupi gunung

PENGINAPAN

Seperti informasi yang saya terima, mencari penginapan di Cipanas tidak sulit. Banyak sekali hotel dan penginapan yang mencantumkan plang “KOSONG”, dan banyak ‘agen’ pemasaran yang menawari. Kami tidak buru-buru memilih penginapan, dan terus melaju hingga “ujung”, dimana di ujung (ternyata dekat sumber air panas) dihadang oleh kawasan parkir dengan pintu gerbang berbayar (retribusi Rp 1000 yang harus dibayar Rp 3000). Di ‘dalam’ kami ditawari parkir di sebelah dalamnya lagi, yang ternyata halaman sebuah penginapan bernama “Lembur Kuring”. Tempatnya masih sepi, belum ada mobil yang parkir sehingga kami agak ragu. Di situ ada kolam pemandian air panas untuk umum juga. Setelah melakukan peninjauan dan tanya-tanya pada tukang bakso (sebelum memutuskan untuk menginap di situ kami jaja bakso dulu hangat-hangat), kami akhirnya memutuskan menginap di Lembur Kuring saja. Toh kalau mau kemana-mana cukup dekat, termasuk kalau mau ke kota atau ke lokasi wisata yang lain (Papandayan, Situ Bagendit, dll, ‘cuman’ 1 jam perjalanan menurut abang bakso).

Lembur Kuring sendiri memiliki beberapa bungalow dan kamar-kamar seperti rumah kontrak/bedeng. Bungalow bertarif mulai Rp 300.000 – Rp 500.000, namun ternyata sudah full booked. Kamar Rp 200.000 dengan fasilitas 2 bed cukup untuk 4 orang per kamar, dilengkapi bak mandi/berendam air panas pada tiap-tiap kamar, dan TV. Cukuplah. Kami mengambil 2 kamar, karena hanya menampung anak-anak.

Lembur Kuring di waktu malam

Selain fasilitas bak berendam di kamar, penghuni juga bisa memanfaatkan kolam pemandian umum tanpa membayar lagi (tarif umum Rp 6.000 untuk dewasa dan Rp 4.000 untuk anak-anak). Kami berenang, atau lebih tepatnya berendam di kolam yang ternyata di sore hari, jam 5an, cukup ramai (ternyata malam hari, sehabis Isya, justru lebih ramai lagi). Panasnya air membuat takut-takut. Dan kalau terlalu lama berendam, membuat kulit tampak kemerahan (di pintu bak berendam di kamar ada peringatan “MAKSIMUM 15 MENIT”).

Berenang/berendam di kolam air panas

KOTA GARUT

Setelah beristirahat sebentar di penginapan, kami menuju ke kota Garut untuk melihat-lihat suasana kota, dan mencari makan siang. Persis seperti informasi yang disampaikan rekan milis, kota Garut kecil saja, dan “cenderung kotor” (meminjam istilah rekan tersebut). Memang, perawatan keindahan atau kerapian kota tampak kurang memadai. Kami sempat parkir di pusat pertokoan dan memandang berkeliling, namun tidak tampak rumah makan yang “menarik” atau tempat belanja yang “menarik”. Tempat belanja jajanan tradisional/khas yang ditunjuk abang becak juga tutup. Akhirnya kami cabut ke arah alun-alun. Ternyata alun-alun itu hanya berupa halaman masjid jami / masjid agung (?). Kami tidak jadi mampir, karena tidak terlihat sesuatu yang “menarik” untuk mampir.

(Dari sekilas pandang ini saya menyimpulkan, upaya dinas pariwisata yang sudah menerbitkan brosur yang bagus dan mengikuti pameran dan membuat website bagus kurang didukung oleh fakta di lapangan).

Akhirnya, kami balik ke arah Cipanas karena dalam perjalanan dari Cipanas ke kota tadi kami sempat melihat ada sebuah “rumah makan” yang cukup besar, yang ternyata sebuah rumah makan di atas kolam (ada spanduk dengan kata-kata “Makan di Atas Kolam”) bernama “Sumber Rasa” (ada di sebelah kiri jalan dari Cipanas ke arah kota).

Makan di atas kolam

Suasana makan di atas kolam cukup menarik, terutama bagi anak-anak, karena di kolam di bawah ‘saung’ tempat makan benar-benar berisi ikan Mas yang besar-besar dan kalau diberi makan akan segera bergerombol dan berebutan. Namun kesan saya rumah makan ini kurang rajin dibersihkan (ada debu di lantai dan meja lesehan), dan pelayannya masih kurang terlatih. Masakan sih lumayan, namun serba berbayar dan agak lebih mahal dari tempat lain yang pernah kami kunjungi (kami suka mencoba-coba makanan / wisata kuliner di berbagai daerah yang kami kunjungi atau lewati, walaupun kelas sederhana).

SUMBER AIR PANAS

Kami pernah beberapa kali mandi/berendam air panas di Ciater (dekat Tangkuban Prahu, antara Subang dan Lembang/Bandung), langsung di lokasi yang menjadi sumber/mata air panasnya. Hal yang sama kami tanyakan kepada petugas di penginapan Lembur Kuring. Kami mendapat info bahwa ada dua sumber air panas. Pertama di Tirtalena, yang dialirkan melalui pipa ke penginapan-penginapan yang ada di situ. Sumber ini tidak terbuka untuk umum. Yang kedua yang terbuka untuk umum (sehingga bisa mandi/berendam di situ) adalah di Ci’engan (namanya kurang jelas di telinga saya). Saya membayangkan akan menemukan pancuran atau aliran air panas dari situ sehingga berencana melihatnya. Malam hari, kami pun berangkat menuju ke sana, jalan kaki, karena infonya hanya perlu 5 menit jalan kaki. Setelah bertanya sana-sini, kami memperoleh informasi bahwa untuk menuju ke Ci’engan itu harus melalui gang. Ternyata memang ada gang sempit di sela-sela rumah penduduk. Tidak ramai sehingga kami ragu. Dan setelah sampai di ‘lokasi’ pun kami masih terus berjalan mengikuti gang sehingga akhirnya bertanya lagi, lalu berjalan kembali karena sudah lewat! Lho, yang mana? Ternyata yang disebut Ci’engan itu berupa sebuah ‘bangunan’ seperti rumah penduduk di sekitarnya, dan ketika kami melongok ke dalam, memang ada sebuah kolam ‘kecil’ dimana beberapa pria tua (lansia) terlihat sedang berendam. Lho! Walah… ternyata cuman segitu tho? Seperti sebuah WC umum saja! Kami pun kembali dengan kecewa…

MAKANAN

Malam hari di daerah berhawa dingin seperti Cipanas, makanan apa yang lazimnya anda inginkan? Tentu terbayang semacam sate kambing dan sejenisnya. Harapan anda memang lazim, terbukti di sekitar lokasi parkir berretribusi yang rupanya menjadi sentralnya Cipanas itu, di kanan-kiri jalan banyak warung yang menjual sate kambing (juga sate ayam), sop, dan gulai.

Pemilik warung akan menyapa setiap yang lewat, mengajak mampir makan di warungnya. Kami melihat, hampir semua (kalau tidak ingin mengatakan semua) warung mendisplay sate yang serupa (penampilan sate, tusuk/sujennya, dan cara meletakkannya). Kami sampai menyimpulkan bahwa sate yang dijual di warung-warung itu pastilah dari sumber yang sama, semacam produsen atau distributor, dan warung hanyalah penjajanya saja. Ya, apa boleh buat. Masuk ke warung yang mana saja ‘pasti’ akan mendapatkan sate yang sama. Tinggal sekarang mengharapkan pelayanan yang berbeda (karena penampilan warung juga tampak hampir sama). Kami lalu menebak, warung mana kira-kira yang bisa memberikan pelayanan yang lebih baik.

Dari rasa sate dan sop yang kami pesan, tidak ada keistimewaan, bahkan cenderung di bawah standar yang kami harapkan. Hmm apa boleh buat. Pilihan makanan lain tidak banyak. Ada nasi goreng, dan beberapa masakan instan seperti mie. Dari sisi ini tentu kami kecewa juga, mungkin serupa kecewanya dengan kenyataan bahwa suhu udara di Cipanas juga tidaklah sedingin ‘daerah dingin’ lainnya, misalnya kawasan Puncak Bogor, Ciater, atau Batu Malang. Bahkan, ada nyamuk! Hal yang tidak biasa ada di kawasan bersuhu rendah!

Sedikit terbersit dalam benak saya, promosi wisata yang dilakukan pemerintah Garut agaknya lebih indah dari aslinya. Mungkin perlu sentuhan pada dunia nyata, berupa penataan, pengayaan, dan sebagainya, sehingga harapan pengunjung wisatanya tidaklah terlalu terbanting. Walaupun kami termasuk penikmat wisata ‘kecil’ saja, namun pembandingan dengan daerah lain yang pernah kami kunjungi akan otomatis menentukan ukurannya.

SITU BAGENDIT

Dari brosur wisata Garut dan website pemkab Garut kita mengetahui bahwa di Garut banyak sekali obyek wisata. Tidak mungkin mengunjungi semuanya, apalagi ke pantai selatan (Pameungpeuk yang terkenal). Karena kami berencana ke Pangandaran yang berupa obyek wisata pantai, maka di Garut kami memilih yang di gunung. Kampung Sampireun yang terkenal batal kami kunjungi karena mahalnya tarif penginapan yang mencapai Rp 3,6jt (per kamar double-bed untuk 4 orang. Maklum Bintang 4).

Setelah mengumpulkan informasi lokasi dan keistimewaan, kami lalu memilih dua obyek, yaitu Situ Bagendit dan Curug Orok.

Perjalanan ke Situ Bagendit cukup mudah dan cepat. Situ Bagendit, dari arah Cipanas menuju Kota, belok kiri di ‘bundaran’ (pertigaan). Kalau ke kanan menuju Kota Garut. Kami beberapa kali bertanya di jalan untuk memastikan arah yang kami tempuh tidak salah (karena ada pertigaan yang tidak mencantumkan arahnya).

Dari arah yang kami tempuh, Situ Bagendit berada di kiri jalan. Ada plang nama yang cukup besar dan jelas, namun jalan masuk lokasi agak membuat kagok karena mendadak setelah melihat plang, harus langsung belok patah pada jalan yang menurun. Begitu masuk, langsung parkir. Untuk masuk ke Situ (Danau), membayar karcis Rp 2.000 per orang.

Naik rakit di Situ Bagendit

Situ Bagendit sendiri hanyalah sebuah danau kecil yang terkesan kurang dirawat. Di danau masih banyak tumbuhan-tumbuhan yang mengurangi keindahan panorama. Di tengah danau, tidak jauh, ada tiga buah ‘rakit’ dari bambu yang permanen (tidak bergerak) tempat tiga ‘pemiliknya’ berjualan. Pengunjung bisa menyewa rakit dari pinggir untuk menuju rakit permanen tersebut, bisa perorangan atau bisa juga borongan satu rakit (seperti yang kami lakukan) dengan harga nego.

Setelah naik rakit mutar ke tengah lalu balik lagi, kami duduk-duduk di saung para penjual di pinggir danau. Di situ bisa memesan kelapa muda, atau makanan seperti pecel dan karedok. Ada juga taman bermain anak-anak, yang dilengkapi trem untuk mutar-mutar taman.

CURUG OROK

Kami melanjutkan perjalanan dari Situ Bagendit ke Curug Orok. Ternyata, Curug Orok terletak di sebelah yang berlawanan dengan Situ Bagendit. Jadi, kami kembali ke arah semula (ke ‘Bundaran’) lalu menuju ke arah Kota Garut. Sesuai petunjuk yang kami peroleh di jalan, Curug Orok berada di jalur ke arah Bungbulang. Jadi, kami melintasi kota terus ke selatan. Jaraknya cukup jauh, dan melalui jalan yang kondisinya kurang baik.

Arah Bungbulang sendiri kurang begitu populer. Dari Kota, arah yang ditempuh adalah arah Papandayan atau Pameungpeuk, lalu nanti ada belokan ke kanan ke arah Bungbulang. Di arah Bungbulang inilah jalanan kurang bagus dan sempit. Setelah sampai di lokasi (ada di sebelah kiri) saya sempat terlewat karena plang nama hanya kecil saja dan ditulis ‘biasa’.

Menuju lokasi Curug Orok

Untuk menuju lokasi Curug masih perlu melalui jalanan batu yang kurang ‘bersahabat’ (terutama yang menggunakan mobil sedan), namun tidak begitu jauh. Setelah sampai di tempat parkir, kita masih harus turun ke dasar lembah untuk bisa mendekati air terjun. Untunglah oleh pengelola telah dibuatkan semacam ‘tangga’, namun ketika naik kembali… humph! Capai….. :(

Curug Orok dilihat dari atas

Curug Orok di dasar lembah

DODOL GARUT?

Garut terkenal dengan jajanan Dodol Garut. Kami pun mencoba mencari (sambil jalan) ‘pusat’ penjualan oleh-oleh khas yang terkenal itu. Mungkin kami kurang beruntung karena tidak dipandu oleh seseorang yang mengenal Garut dengan baik. Namun sepanjang yang kami lihat, setelah sempat mutar di beberapa jalan di Kota (dan salah satu toko yang ditunjuk abang becak ternyata tutup), kami lalu belanja oleh-oleh di jalan yang menuju Cipanas (dari kota).Ternyata sama saja. Walaupun mungkin aneka dodol di sini lebih lengkap, namun sama saja dengan toko atau counter penjualan oleh-oleh lainnya. Di sini pun ada dodol yang ternyata diproduksi di Bandung :).